Apabila ngobrol tentag NEKAD, ada salah satu pengalaman saya yang menurut saya cukup nekad dan cukup ngawur. Saya sangat mengingat benar hal itu. Sebuah pengalaman yang tidak terlupakan. Pertama kali mendaki Gunung Raung yang memiliki kawah terluas kedua se Asia Tenggara.
Saya tidak ingat tanggal berapa saya melakukan pendakian Gunung Raung tersebut. Yang saya ingat adalah waktu itu saya masih semester 4 pas kuliah. Waktu berangkat dari kampus hari rabu malam, berangkat mendaki hari kamis pagi, dan sampai puncak pada hari jumat siang hari. Waktu itu saya berangkat dengan 3 orang teman saya, yaitu Cempe, Mbah Koplo, dan juga Cengox.
Bagi yang melihat sekilas cerita di atas, pasti akan berasumsi bahwa pendakian tersebut biasa biasa saja. Semua pendaki gunung maupun orag biasa juga bisa melakukannya. Namun disini saya akan menceritakan dimana letak kenekadan pendakian tersebut.
Waktu itu, sebenarnya kami berempat tidak berniat untuk melakukan pendakian gunung. Saya dan Cempe memang masih ada kuliah hari itu, sedangkan Mbah Koplo dan Cengox bukan merupakan mahasiswa, namun mereka yang pencinta alam kebetulan bermain di sekretariat PA kami.
Saya dan Cempe yang sedang budrek (baca:bosan dan jenuh) akibat kuliah akhirnya bermain gitar di sekret dan sambil ditemani kopi seperti biasa. Setelah itu saya dan Cempe sekedar ngobrol ngobrol untuk ngajak mendaki gunung atau pergi ke pantai untuk refreshing yang dekat dekat saja. Tiba tiba Mbah Koplo dan Cengox nyeletuk untuk ngajak ke Gunung Raung, gunung yang belum pernah saya daki waktu itu. Saya kemudian nanya nanya tentang kondisi di sana dan juga berapa lama waktu yang diperlukan untuk sampek sana. Setelah diceritakan panjang lebar, akhirnya kami sepakat bahwa sore nanti kita berangkat ke Gunung Raung lewat jalur Bondowoso.
Dari latar belakang tersebut. Saya pikir saya dan Cempe tergolong nekad untuk mendaki gunung tersebut. Bayangkan, dalam obrolan kurang lebih setengah jam, planning mendaki gunung sudah fix. Bahkan berangkatnya pun nanti jam 3 sore, padahal saat itu masih jam 11 siang. Betapa nekadnya kami berempat, belum menyiapkan perlengkapan dan kebutuhan konsumsi untuk pendakian dan tentunya menyiapkan fisik juga.
Setelah fix, kami pun melakukan MARKIPAT alias Mari Kita Patungan (Urunan uang) untuk membeli bahan makanan dan keperluan untuk mendaki gunung. Dan ternyata, waktu itu, uang kami memang tidak banyak. Kami berempat cuma urunan 40 ribuan untuk saya dan Cempe, sedangkan Mbah koplo dan Cengox 20 ribuan. Jadi kalo di total cuma ada uang 120rb. Uang tersebut, 50ribu buat jatah bensin di perjalanan, 15 ribu untuk beli tabung gas untuk kompor, dan sisanya 55 ribu digunakan untuk beli bahan konsumsi di perjalanan (beras, sardens, sayur, susu cair, sosis, kopi, teh, gula, tembkau untuk rokok Cengox dan Mbah Koplo serta menu andalan mie instan, hehe).
Setelah semua kebutuhan konsumsi fix, kita semua memasukkan pada 2 carrier 80 liter dan juga 2 daypack. Perlengkapan berupa carrier, tas, tenda, kompor, nesting sudah kami dapatkan dari perlengkapan sekretariat. Tidak lupa juga kami membawa bendera PA kami dan bendera merah putih untuk dikibarkan ketika sudah mencapai puncak.
Perlengkapan fix, keempat peserta udah lengkap. Akhirnya kami berangkat ke pos terakhir di Bondowoso, namanya Desa Sumber Waringin. Di sana ada shelter atau tempat istirahat sementara yang kebetulan merupakan rumah dari Cadas awan, teman kami dari PA di Bondowoso. Kami berangkat jam 3 sore dan kami sampai sana kurang lebih jam setengah 7 malam. Setelah sampai, kami pun mencari makan dan juga membuat kopi sebagai penghangat, serta prepare untuk perjalanan esok pagi yang rencananya akan mulai berangkat jam 5 pagi da hape kami alarm jam 4 pagi.
Keesokan paginya ternyata kami mengalami kedinginan yang cukup ajib. Akhirnya kami membuat api unggun dulu sebelum berangkat, menikmati kopi dulu dan akhirnya kami berangkat sekitar jam 7. Perjalanan pertama kami lalui melewati jalan beraspal, melewati perkampungan dan setelah itu menuju mata air terakhir. Lho kok terakhir, ya memang begitu, di atasnya lagi sudah tidak ada sumber air, jadi dari bawah kita harus membawa air untuk persediaan minum dan memasak. Pada waktu itu, perorang masing2 membawa 4,5 liter air di carrier dan juga 3 liter di daypack kecil.
Foto dulu sebelum berangkat ke Gunung Raung (Rumah Cadas / Shelter terakhir) Dari kiri, Saya (Boll), Mbah Koplo, Cempe, Cengox |
Ini memang masih dibilang belum nekad, karena toh masih mendaki biasa, bawa makanan secukupnya. Meskipun nggak ada air, toh masih bawa air lumayan banyak dari bawah. Jadinya bisa dibilang masalah konsumsi belumlah ikut dalam kategori nekad. Namun masuk kategori memprihatinkan, hehe. Masak mendaki gunung, konsumsinya kurang gizi begitu.
Setelah melakukan perjalanan sekitar 1 jam. Kami sampai di pos pertama pendakian, namanya Pondok Motor. Di sana kami mulai memasuki kebun labu siam dan juga jalanan berbatu. Setelah itu, kami melakukan perjalanan menuju pos selanjutnya, yaitu Pondok Sumur. Perjalanan itu kalau tidak salah memerlukan waktu sekitar 3-4 jam untuk naik. Memang bukan merupakan waktu yang lama. Tapi di tengah jalan ada salah satu kejanggalan yang saya alami.
Istirahat sejenak, santai dulu Perjalanan 2 jam setelah Pondok motor, setengah jalan ke Pondok Sumur |
Ketika saya bilag bahwa saya lebih nyaman mendaki tanpa menggunakan sandal tracking saya, maka sandal tersebut saya ikatkan di carrier yang saya bawa. Dan di tengah jalan, saya harus menerima kenyataan dari ucapan saya sendiri. My Sandal is gone, alias sandal saya hilang. Kami berempat pun mencoba mencari dengan memutar balik arah perjalanan. Tapi ternyata tidak ketemu juga, dan teman saya yang berjalan di belakang (Cempe dan Mbah Koplo) pun tidak menyadari ada sandal yang jatuh.
Jadi akhirnya kami sepakat bahwa hal itu merupakan akibat dari perkataan saya sendiri. Maklum, kami sebagai pendaki gunung, masih percaya dengan ilmu KLENIK alias ilmu supranatural bahwa di gunung banyak terdapat makhluk lain yang mungkin saja akan mengganggu perjalanan kita. Dan kemudian, kami pun melanjutkan perjalanan dengan kondisi saya tidak memakai alas kaki apapun, karena kami semua hanya membawa satu sandal saja.
Perjalanan dilanjutkan. Di pos Pondok Sumur kami menyimpan air sebanyak 4 botol 1,5 liter di tempat khusus dan kami tandai agar ketika turun, kita bisa mengambilnya kembali. Alasannya tentu saja agar barang bawaan kita nggak terlalu berat. Setelah makan siang di pos itu, kami pun melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya. Jalanan semakin menanjak dan berbatu serta banyak kerikil. Jadi saya yang nggak memakai sandal semakin merasakan lecet di kaki.
Di Pos Pondok Sumur KAmi menyimpan air dan rehat sejenak |
Tidak sampai 3 jam kami sampai di pos Pondok Demit, dan kondisinya sudah sore, mendekati jam 5. Akhirnya kami memutuskan untuk camp disitu, karena lokasinya cukup luas dan cukup untuk didirikan tenda, serta masih memungkinkan untuk mencapai puncak di pagi harinya, karena estimasi waktunya hanya memerlukan 3 jam untuk sampai puncak. Di pos itu, kami memasak seperti biasa kemudian makan seadanya, menunya sama saja, nasi 1 nesting, mie instan 1 nesting, dan nesting kecil untuk buat sarden, hehe. Setlah makan, waktu menunjuk jam 7, hari semakin dingin, akhirnya kami buat api unggun dan kemudian jam 8 mata kami sudah tidak kuat, akhirnya kami pun tidur.
Alarm memang terpasang jam 3 pagi, namun ternyata keadaan berkata lain, kabut masih tebal dan kondisi sangat dingin. Akhirnya kami memutuskan untuk menunda keberagkatan ke puncak Raung. Kami bangun jam 6 pagi untuk sarapan, da jam 7 kami baru berangkat ke puncak. Dan saya masih tetap nggak pake sandal, kaki semakin lecet karena harus melewati pohon pohon tumbang serta batuan puncak yang cukup panas dan menyengat karena waktu itu kami sampai puncak jam 11 siang hari Jumat (tepat waktunya shalat jumat, hehe).
Berdiri di Puncak Gunung Raung 3332 mdpl Panas banget :D |
Berfoto di In Memorian Deden Hidayat Pendaki yang meninggal di Gunung Rung karena jatuh ke Kawah Gunung Raung |
Foto Cempe yang lagi bergaya |
Kawah gunung Raung yang cukup luas |
Berfoto bersama Cempe dengan bendera MPA Pring Kuning (saya nggak pake sandal karena hilang) |
Gaya dulu, mumpung ada di puncak Raung |
Berfoto ria berempat dengan bantuan batu sebagai penyangga kamera digital dengan set waktu 10 detik |
Lagi lagi foto di puncak tanpa sandal, hehe |
Foto pendakian Raung yang kedua, kali ini saya pake sandal jepit Tapi waktu jalan ke puncak, saya tetap senang tanpa menggunakan sandal |
Di Puncak , kami hanya membawa bendera PA kami, bendera merah putih tertinggal di camp di tasnya Cempe. Jadi ya akhirnya hanya mengibarkan bendera PA saja. Di puncak, kami berdoa sejenak, mensyukuri nikmat dan keselamatan sudah sampai puncak. Tidak lupa juga kami memohon keselamatan untuk bisa turun dengan selamat tanpa halangan apapun.
Setelah menikmati pemandangan di puncak, kami pun turun menuju camp kami. Kami melakukan makan siang kemudian prepare untuk melakukan turun gunung. Tepat jam 3 sore kami turun dari pos Pondok Demit. Tidak sampai 2 jam kami sampai di pos Pondok Sumur. Kami mengambil air, buat kopi sejenak kemudian turun lagi menuju pos Pondok Motor.
Dan ternyata keapesan menimpa kami. Karena turun kemaleman, akhirnya kami kesasar di kebun labu siam. Duh repotnya bukan main, karena jalanan Nampak sama semua, kanan kiri labu siam semua. Udah gitu jalanan bayak bercabang juga. Dan lebih parahnya lagi, tanda yang kami buat di pohon sudah hilang. Akhirnya kita memutuskan untuk istirahat sejenak dan menikmati kopi agar tetap tenang dan menemukan jalan keluar.
Tidak lama kemudian, kami mendengar suara anjing penduduk. Kami pun mengikuti suara itu dengan berlari. Dan betapa bahagianya kami, setelah berlari selama 15an menit, kami menemui pohon cemara yang merupakan tanda bahwa kami sudah dekat dengan pos pertama kita mendaki, yaitu pos Pondok Motor. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, kami sudah lelah, namun bekal makanan sudah habis. Akhirnya kami nekad makan buah labu siam yang dibuang di sekitar camp kami. Kami bersihkan kemudian di rebus pada malam itu. Meskipun rasanya agak aneh, tapi ya tetep kami makan, karena perut sudah lapar dan sudah bermain musik keroncong. Setelah itu kami istirahat, dan keesokan paginya kami kembali ke shelter di rumahnya Cadas. Setelah mandi dan membersihkan tubuh, kami kemudian pulang kembali ke Jember.
Begitulah sedikit cerita saya tentang pendakian Gunung Raung yang menurut saya sedikit nekad di beberapa bagian:
- Persiapan hanya dilakukan 4 jam, padahal pendakian gunung paling tidak di prepare sejak 2-3 hari sebelum berangkat
- Kami mendaki gunung yang tidak ada persediaan airnya, jadi harus membawa air dari bawah, sehingga barang bawaan menjadi semakin berat
- Saya mendaki gunung tanpa menggunakan alas kaki, ini menurut saya yang paling nekad, karena keamanan fisik harus benar benar dijaga ketika mendaki gunung
- Kami makan labu siam di rebus sebagai pengganti nasi dan mie yang sudah habis, benar benar nggak sesuai dengan standar konsumsi pendakian yang tentunya memerlukan energi yang cukup agar tetap fit dan sehat selama perjalanan.
Sekian banyak cerita dari saya. Semoga anda tidak meniru kenekadan kami berempat dalam persiapan mendaki serta tidak meniru saya yang mendaki tanpa menggunakan alas kaki. Karena tentu saja mendaki itu tidak sembarang mendaki, butuh persiapan dan juga keamanan dalam pendakian agar tidak terjadi hal hal yang tidak diinginkan selama pendakian.
Terima kasih dan semoga berkenan untuk membaca cerita ini :D.
Mendaki gunung adalah travelling yg tidak ingin saya lakukan, karena pasti capek hehehe *orang rumahan :D
ReplyDeleteselain capek, banyak bahaya yang mengancam ketika mendaki gunung mbak Leyla :D
DeleteMantap...... photo-photonya keren dan indah, tapi terlalu nekad kalau untuk mendaki gunung tanpa persiapan yang matang. Tapi, kalau bukan dengan cara itu yang tidak nekad ya ! he,,, he,,, he,,,
ReplyDeleteSemoga sukses lombanya.
Salam wisata
maka dari itu mas, saya menyebut pendakian saya ini yang apling nekad, selain karena tanpa persiapan jelas, saya juga nggak pake sandal, hehe
Deleteuntuk pendakian yg lainnya tentunya dengan persiapan yg lebih matang :D
weiii, nekadnya ke Raung ya?
ReplyDelete#pantas Una kmrn nanyak ttg travel nekadku.
iya mbak, segera dibuat mbak DL nya akhir bulan ini
Deleteke raungnya nggak nekad mbak, mendadaknya itu yang nekad
dulu waktu masih muda dan mendagi beberapa gunung, yang kami lakukan nggak senekad sampean Kang. Ini bener-bener konyol, kecuali kalo kita sudah sangat menguasai teknik survival di alam bebas, tanpa bekalpun nggak masalah.
ReplyDeleteya itu kang, saya juga baru sadar setelah sudah turun dari raung
Deletesangat ngawur dan nekad, saya juga dimarahi kakak senior saya di PA
jadi inget masa lalu om
ReplyDeleteaku juga suka nekad kalo naik gunung
ga pernah gabung dengan kelompok pecinta alam
ndaki paling berdua adik dengan modal pas diongkos
bekal cukup bawa mie instan beberapa biji plus kantong air. ga bawa ransel malah cuma jaket plus senter dan bekal masukin tas kresek
pokoknya jadi sprinter. malem naik paginya kudu turun atau kelaparan...
itu mendaki gunung apa bukit mas, kok cuman sehari semalam doang....
Deleteapa gunungnya itu beda dengan gunung biasanya mas :D
gunung slamet biasa aku tempuh 6 jam. berangkat dari desa terakhir jam 10 malem sekitar jam 4 sudah nyampe puncak. setelah matahari nongol turun ke kawah sekitar jam 9 turun lagi, sore dah di kampung lagi. malemnya bisa nyampe purwokerto
Deletemaklum om
pendaki fakir miskin yang cuma bisa ngiri kalo lihat orang lain bawa ransel besar...
ransel besar malah tambah nyusahin mas, hehe
Deleteowalah, tak kira gunung apa gitu mas, makanya kok singkat bener
kalo gunung slamet emang cepet mas
dulu pernah ada temen 5 hari udah naik ke 3S, sindoro, sumbing, slamet
Standing Aplaous untukmu sam. Menaklukkan beberapa gunung melalui perjuangan yang luar biasa.
ReplyDeleteKapan aku bisa sepertimu melintasi jagat alam yang luas ini.
Namun, lagi-lagi *si-dia tak merestui aku mendaki sam.
Hemmm edisi ngenes..
Aku bukan ingin menaklukkan gunung mas Jass
DeleteAku hanya ingin ikut bersyukur atas keindahan alam raya di negeri ini
semoga masih bisa keluyuran seperti saat kuliah dulu :D
Raung itu lewat ya? Belum pernah kesana... yang katanya ada lapangan terbang penginggalan Jepang itu Raung apa Argopuro ya? hehehehe
ReplyDeleteBaca juga kisah nekadku: Liburan: Wisata Alam Sekitar Jember Saat Puasa Sampai ke Bali, Perjuangan Nekad Warga Jember Demi Jember Fashion Carnaval, dan Main di Bekasi Seminggu Dengan Modal Rp 400ribu (2009).
Makasih…
yang ada bekas lapangan terbang itu argopuro, nama tempatnya itu Cikasur
Delete*lewat mana
ReplyDeletekan aku udah nulis di atas, lewat Bondowoso, Sumber Waringin
DeleteMaksudku itu... Sumber Waringin itu ancer-ancernya (apa ya Indonesianya ancer-ancer...) dimana? Naik ke raung apa seperti Semeru? Minimal 1 kelompok 3 orang? Apa wajib nge-camp?
ReplyDeletekalo ancer2 ya ruwet mas kalo aku ngasih tau, kalo punya hape + google map, bisa manfaatin itu dah, keliatan kok di google map
Deletenaik raung gak sama seperti semeru mas, di raung gak ada air, jadi kudu bawa air dari bawah, puncaknya juga nggak berpasir, tapi bebatuan, jadi lebih mudah
kalo saranku mending camp aja, biar lebih nyantai
siap...
Deletedari tempat parkir kendaraan ke puncak berapa kilo?
berarti kalo ke Raung itu naik Gunung beneran ya gak kayak ke Kawah Ijen? berat sepertinya...
ya beneran lah mas, kalo ijen mah gunung wisata, dari paltuding sampai ke puncak cuman 1 jam
Deletehanya saja akses ke paltudingnya yang cukup jauh
emangnya dari bondowoso ke paltuding berapa jauh mas?
DeleteCari yang gak terlalu ekstrim sih mas sebenernya hehehehe bukan dari OPA soalnya, cuma suka iseng jalan-jalan aja, gak terbiasa naik gunung, kalo jalan kaki lurus mau jauhnya kayak apa sih oke, tapi kalo naik.... hehehhehehe oke wes makasih infonya :)
Oh iya minta follback boleh ya mas :D
DeleteInsinyur Pikun
kalo dari bondowoso, biasanya sekitar 2,5 jam mas
Deleteagak lama soale jalannya rusak, hehe
kalo mau ke raung lagi, tapi lewat jalur kalibaru di banyuwangi, bisa mampir dirumah :)
ReplyDelete